Ke Hong Kong! Tidak untuk melancong, tidak pula kuliah atau kunjungan bisnis apalagi kunjungan kenegaraan, melainkan untuk menjadi pembantu atau jongos bagi keluarga Cina yang berkecukupan untuk nge-jeng kami. Pagi masih basah ketika aku meninggalkan kampung halamanku menuju bandara Jakarta. Hanya aku sendiri, tanpa sesiapa yang mengantar, tidak pula dia, suamiku.
Aku mengenang perpisahan dengan ibu dan keluargaku. Ibu yang sewaktu aku kecil dulu kurasakan tak begitu mempedulikanku saat itu kulihat begitu tulusnya menemaniku sepanjang hari. Memandangku dengan tatapan yang kalau aku jabarkan mungkin akan menjadi sebuah cerita sedih yang menguras air mata. Tatapan seorang ibu yang mengandung kata maaf, iba, khawatir, sedih, pengharapan dan entah rasa apa lagi yang bercampur menjadi satu.
“Hati-hati ya nduk, segera kirim kabar sesampainya di sana ya,” katanya entah untuk yang keberapa kalinya padaku.
“Iya, iya nanti khan aku telpun mbok. Wes, jangan khawatir,” kataku menegaskan walau sebenarnya hatiku sendiri masih was-was.
“Maafkan aku kalau semuanya jadi begini,” imbuhnya.
Aku terdiam, tak tahu harus menjawab apa. Mendengarnya bicara seperti itu mengingatkanku akan suamiku. Pernikahanku dnegannya yang adalah hasil dari bujukan emakku itu tak berjalan mulus walau dulu diawali dengan pesta pernikahan yang ebgitu mewah dan terlihat gebyar. Aku juga mengharapkan semua akan baik-baik saja. Aku berharap suamiku ini bisa menjadi pengobat lukaku yang cukup dalam akibat dari putusnya hubunganku dengan pacar pertamaku dulu. Aku juga mengharap dia bisa menjadi imam dalam keluarga serta seorang suami yang bertanggung jawab.
Tetapi kadang apa yang kita impikan dengan apa yang kita jalani tidak sama,bahkan jauh dari impian kita. Seperti apa yang aku alami. Suami yang kuharapkan bisa menjadi imam dalam keluarga,ternyata jauh sekali dari apa yang aku harapkan. Aku jalani hidup bersamanya dengan pertengkaran.
Berawal dari hari pertama setelah pernikahanu dengannya, suamiku sudah meminta dengan sedikit memakksa agar aku memboyong semua perabot rumah tangga yang sudah kumiliki jauh hari sebelum aku menikah dari hasil bekerja di Taiwan dan Singapura.
“Isi rumahmu diboyong aja ke rumahku?” katanya dengan santai.
Aku mendengar itu sampai terheran-heran.
“Kok bisa? Itu khan aku yang beli mas, udah dari dulu itu,” jawabku.
“Lho kamu khan istriku,” jawabnya ketus. Jawaban yang ini tentu saja memancing emosiku.
“Ga bisa gitu mas, itu bukan harta bersama,” jawabkku lagi.
“Nek kamu merasa jadi istriku, hartamu ya hartaku juga. Bawa semua kesini!” teriaknya.
“Yang dinamakan harta bersama itu harta yang setelah kita dapat setelah kita menikah. Lha tapi ini isi rumah jauh sebelum mas menikahi aku. Jadi maaf itu milikku sendiri. Lagian biarin aja di rumahku, khan ada ibu di sana.”
“Kamu mo nurut omonganku ga sih!” bentaknya.
“Ok. Boleh mas, boleh boyong semua isi rumah,asalkan kita sudah punya rumah sendiri, tapi ini lho masih numpang sama ibumu.”
Ah itu baru hari pertamaku dengannya. Hari selanjutnya juga tak jauh dari pertengkkaran-pertengaran. Dalam segala hal kami beda prinsip, beda persepsi dan itu semakin merumitkan posisiku sebagai istri sekaligus menantu di rumah mertuaku waktu itu.
Belum lama menikah kebutuhan sudah menumpuk. Banyak yang punya hajatan di kampungku, jadi aku harus mengeluarkan uang untuk menyumbang. Namun suamiku tidak pernah memberi uang untuk menyumbang. Jadi terpaksa aku harus mengeluarkan uangku sendiri. Bahkan uang belanja saja dia tidak jujur padaku. Kepadaku dia bilang gaji perminggunya amat sedikit sehingga aku hanya diberi uang belanja 20 ribu untuk satu Minggu, masyaallah… Mana cukup?
Suatu hari pula suamiku menyuruhku untuk mengganti sepeda motorku dengan merk baru, aku bingung. Bagaimana mungkin?
“Ganti Grand aja sepeda motornya. Kamu khan punya uang,” katanya.
“Ha? Aku khan tidak kerja, Aku dapat uang dari mana aku?” jawabku. Kesal sekali hatiku mendengar perkataan suamiku.
“Ga usah mungkir, pakek tuh tabunganmu. Khan tabunganmu masih banyak,”katanya lagi.
“Tabungan apa yang kamu maksudkan? Aku ini sudah tidak punya apa-apa lagi mas,” jawabku pilu. Seperti ini rasanya aku semakin tidak tahan aku dengannya. Jadi apa dia nikah denganku hanya karena berpikiran aku punya tabungana banyak saja? Apa dia pikir karena aku ex Singapura, ex Taiwan trus tabunganku bertumpuk-tumpuk? Masya Allah…
Dulu aku berharap sekali dia bisa mengobati luka hatiku akibat dari ditinggal pergi pacar pertamaku dulu, tapi ternyata dia malah membuat luka ini semakin dalam. Ah ataukah aku juga turut andil dalam membuat pernikahan yang salah ini? Ah, aku bingung.
Lelaki yang dulu aku sangat cintai mengingkari janji. Dia menikah dengan wanita lain dan kini dia sudah mempunyai 2 orang putri. Dia menetap di Cibinong dan beli perumahan di sana. Dulu aku nge-break contract demi dia. Harapanku dia akan segera melamarku dan menjadi suamiku.Ya memang dia bener-mener melamar, tapi bukan aku yang dia lamar melainkan orang lain. Hancur semua harapan yang lama aku impikan. Cita-citaku musnah semua, semua tinggal kenangan. Kenangan yang terlalu sakit untuk diingat.
Kucoba untuk selalu bersabar dengan apa yang telah menimpaku. Walau pahit kurasakan, namun aku tetap mencoba tersenyum di depan ibuku, saudaraku, tetanggaku dan semuanya. Ya, walaupun kemudian aku tersedu pilu dibawah bantal di dalam kamarku.
Dan gara-gara aku putus cinta itu juga aku harus menerima untuk dijodohkan. Emak yang dengan jelas mengatakan malu mempunyai anak gadis yang jadi prawan tua. Adat di desaku dan kepatuhanku pada ibuku itu begitu menyakitkan hasilnya. Mengapa budaya patriaki demikian erat membelenggu wanita? Mengapa ibu lebih rela menjodohkanku dengan orang yang jelas-jelas tak kucinta hanya karena takut aku jadi prawan tua? Dan mengapa pula aku tak mempunyai keberanian untuk berontak?
Genap 4 bulan aku hidup bersamanya, namun dia malah semakin parah saja. Di waktu aku bingung harus bagaimana, tiba-tiba teman setiaku menelponku,dan menewari kerja di Hong Kong lagi.
Singkat kata akhirnya aku berangkat juga ke negeri beton lagi. Dengan harapan suamiku itu bisa berubah untuk menjadi yang lebih baik dan dewasa. Tapi lagi-lagi harapan tak sesuai dengan kenyataan. ibuku cerita semua tentang kelakuannya yang semakin gila saja.
“Bu aku mau tanya gimana keadaan rumah dan gimana kabar suamiku? Apa dia tinggal di sini atau di rumah orang tuanya sendiri?” tanyaku pada ibu sewaktu aku menelponnya.
“Suamimu tinggal di rumah orang tuanya, tapi kadang kala juga datang ke sini. Nak ini ibu mau kasih tahu tentang suamimu, aku dengar dia sering bilang kalau dia mau minta ke kamu untuk dibelikan sepeda motor. Apa bener?” kata ibu
“Kok gitu? Aku bukan perempuan yang dengan mudah memanjakan lelaki bu? Aku kerja untuk menabung buat masa depan. Aku pikir suami kerja juga buat nabung, aku juga nabung gitu. Enggak trus buat beli motor lagi dan lagi. Buat apa?” kataku.
“Ya syukurlah kalau kamu punya penderian begitu.”kata ibuku.
“Ya harus begitu bu. Kalo dia bener-bener pengin ya suruh beli aja sendirilah,” kataku.
Bulan demi bulan kulalui di Hong Kong, komunikasiku dengan suami juga semakin amburadul. Bila aku menghubunginya selalu berakhir dengan dengan kemarahan di kedua belah pihak. Selalu begitu. Kepercayaanku pada suamiku punah sudah. Hal itu juga dirasakan oleh ibu, ibu juga tidak mempercayainya lagi. Tertama di saat suamiku mempunyai tabiat baru yaitu menjadi pemabuk. Pajak sepeda motor yang menjadi tanggungannya bahkan dibebankan kepada ibu karena dia lebih memberatkan untuk membeli minuman keras. Aku sakit hati dibuatnya.
“Enak benar dia. Dia yang pakai kok ibu yang bayar pajak sih?” kataku.
Daripada menanggung pikiran dan tidak tenang yang berimbas kek pekerjaanku juga maka tak lama kemudian aku putuskan untuk bercerai dengan dia. Semula aku mencoba untuk bicara baik-baik dengannya. Tiga kali aku mengirim surat padanya, namun tak satupun suratku dibalasnya. Malah ibuku bilang dia datang kerumah dan menuduh ini semua bujukan ibuku.
Aku mendengar itu semua langsung mencari pengacara untuk membantu menyelesaikan masalahku ini. Karena kufikir buang waktu saja membujuk dia. Sepertinya jalan perceraianku harus kutempuh dengan susah. Ya bagaimana tidak, sehabis sidang yang kedua pangacaraku mengirimkan pesan lewat sms.
“Mbak, tadi sidang berjalan lancar dan suami mbak juga hadir. Di sidang hari ini suami mbak mau bertanda tangan asal mbak mau membayar 20 juta.” Kata pengacaraku dalam smsnya.
“Pak, Ga bisa pak. Aku ga akan kasih. Kalo dia butuh uang segitu, suruh aja dia ngrampok di bank,” jawabkku ketus
“Lha mbak ihklasnya berapa?”
“Maaf pak, saya tidak akan membayar 1% pun.” jawabku mengotot tidak mau keluar uang buat lelaki mata duitan ini.
“Biar cepet selesai urusannya mbak kasih saja berapa gitu?”
“Tidak! Saya tidak akan memberinya uang,bapak ini pengacara harus pintar dong. Dia itu suami yang tidak bertanggung jawab. Kenapa saya harus memberi dia uang?” emosiku semakin meledak
Aku tak habis fikir ya,yang dia mau itu apa? Jadi suamiku tak pernah tanggung jawab, sekarang malah mau minta uang segala,emang dia fikir aku ini ibunya apa?.Jalan perceraiku cukup memakan waktu yang lama.Malah aku dengar dia sempat datang kerumah dan bilang ama ibu kalau dia minta ganti rugi. Aku mendengar itu semua ketawa saja. Memang aku sudah merusak barang dia atau gimana kok pakai acara ganti rugi? Ibuku yang ketakutan waktu itu. Tapi aku tetap dan terus bersikukuh bahwa aku tidak akan memberinya uang walau hanya serupiah sekalipun.
Dia tak terima atas kesaksian ibuku. Ibuku bilang sama bapak hakim ,bahwa ibu tidak mau punya menantu seorang pemabuk.
Perjuanganku untuk bercerai denganya cukup rumit. Karena selain suamiku yang berbelit, pengacaraku jga mempermainkanku. Dia sengaja mengulur waktu biar lama. Bahkan saat uang pembayaranku untuknya sudah diterimanya, namun berkas-berkas perceraianku tidak segera dimasukan ke pengadilan. Untung saja waktu aku suruh ibuku datang langsung kepengadilan ibuku menanyakan berkasku sudah masuk apa belum. Tiga bulan berkasku baru dimasukan ke pengadilan, ini juga yang bikin aku jengkel sama pengacaraku.
Tapi alhamdulillah setelah melewati masa-masa yang sulit, akhirnya pengadilan mengabulkan permintaanku untuk bercerai. Bahagia rasanya hati ini mendengar semua itu. Akhirnya aku bisa lepas dari belenggu rumah tanggaku yang memang tidak dilandasi rasa cinta dan kasih sayang. Terutama suamiku,dia menikahiku semata-mata karena aku disangka punya banyak tabungan.
Sekarang ini aku tinggal memikirkan masa depanku dan cita-citaku yang sempat berhenti di jalan.Aku akan meneruskan untuk mengejar cita-citaku untuk bisa buka rias pengantin. Ibarat sambil menyelam minum air. Ya, aku bekerja sambil mencari ilmu sepaya bermanfaat nantinya. Aku yakin di balik musibah yang aku alami pasti Allah sudah merencanakan sesuatu yang lebih baik bagiku. Amin.