Merias Impian
oleh Wanthy Onet
Impian. Semua orang pasti punya impian dan semua pasti ingin impian itu tercapai.Walau untuk mencapai impian itu penuh jalan berliku dan tidak mulus. Dan banyak juga yang sering mengalami kegagalan. Namun kita tidak boleh menyerah begitu saja demi untuk mencapai cita-cita itu. Dan demi cita-citaku aku merelakan diri untuk pergi merantau ke luar negeri, Hongkong.
Pantaslah banyak orang menyebutnya negri beton. Gedung-gedung tinggi yang seperti tumpukan beton itu berjejer-jejer di mana-mana. Di tempat yang rata-rata bangunannya berebut mencakar langit ini aku sendiri, tak ada teman. Eh, hanya satu teman dari PT dulu, namanya Rita. Tiap hari Minggu saat libur aku gunakan untuk berkumpul dengannya dan kita selalu membicarakan tentang cita-cita kita kelak bila sudah mempunyai tabungan.
“Wan, kamu mau berapa tahun kerja di Hong Kong?” Rita bertanya dan itu membuatku berhenti sejenak mengunyah makananku. Meski bukan pertanyaan baru, namun pertanyaan yang itu-itu saja itu selalu berhasil membuatku gugup menjawab.
“Aku belum tahu Rit, karena aku mempunyai cita-cita buka salon dan rias. Tapi masalah keluarga masih membelitku yang mengharuskan aku mengirim uang ke rumah. Lhah trus kapan aku punya cukup uang buat modal ya?” jawabku sambil meletakkan makan, sudah tak bernafsu lagi.
“Bagus itu Wan. Kamukan emang ada bakat dalam bidang berdandan. Lihat aja cara dandan kamu tiap Minggu, pasti beda.” sela Tina temanku dari Jember yang aku kenal sewaktu di Hong Kong.
“Iya Wan, aku yakin kamu pasti bisa,” Rita pun tak mau kalah memberi semangat
Semangat yang aku dapat dari teman-temanku itu cukup mampu mendorongku untuk mencapai cita-citaku. Ya setidaknya mendorongku untuk fokus. Fokus untuk pulang dan menjadi tukang rias.
Aku mulai mencari info tempat kursus pengantin. Waktu itu aku akhirnya mendapatkan info yang aku inginkan. Tanpa membuang waktu aku pun mendaftarkan diri. Ternyata aku tidak perlu repot-repot untuk membeli alat-alatnya, karena sudah disediakan.
Hari pertama masuk sangat susah bagiku karena aku harus menggambar wajah, sedang menggambar adalah hal yang paling sulit aku lakukan.
“Ndhuk iki kertase, nggambar muka dhisik, mengko terus paesanne,” perintah Ibu Anjari guru meriasku sambil senyum-senyum.k
“Wis, aja mrengut ta, dijajal dhisik. Gambar seng simple wae,” bu Anjari terus memberiku semangat.
Akhirnya aku pun menggambar walaupun ya hanya ala kadarnya. Kepala yang seharusnya lonjong itu menjadi kotak atau ah entah bentuk apa aku tak tahu. "Yang penting khan ukuran paesnya," pikirku.
Menggambar paes itu ternyata lebih sulit lagi karena ada ukurannya. Tidak sembarang gambar saja. Dengan susah payah aku mencobanya, mengulangi lagi dan lagi. Ucapan-ucapan Rita dan Tina mendengung-deng
Seminggu pun sudah berlalu dan aku siap untuk belajar lagi. Kali ini aku di haruskan membawa model yang akan aku make up. Tidak sulit bagiku untuk mencari teman yang mau aku jadikan model. Aku tinggal minta ama temanku dan beres aku mendapatkan model.
Hasil riasanku yang pertama masih rata-rata. Akan tetapi hasil riasaanku yang kedua kalinya dapat pujian dari Ibu Anjari
“Kok kowe cepet isa Ndhuk? Make upmu wis apik ngono kok,” kata wanita yang asal Solo ini. Aku tersenyum senang mendengar pujian itu.
“Ah, apa iya Bu?” kataku.
“Wis, gini Minggu depan enggak usah belajar. Kamu mbantu ibu aja ya. Gelem ta?” pinta bu Anjari.
“Oh baiklah Bu,” jawabku dengan senyum gembira.
Dan minggu selanjutnya aku ikut membantu mengajari teman-teman yang baru belajar dasar. Dan sambil membantu bu Anjari, aku juga memperdalam ilmu pada beliau. Tapi sayang, semua tidak berlangsung lama, kerana pada kontrak baruku aku jarang libur sehingga posisiku posisiku diserahkan kepada orang lain. Padahal aku merasa ilmuku belum seberapa.
Cukup lama aku berhenti menuntut ilmu merias hingga akhirnya aku mulai mencoba cari info lagi. Setelah aku mendapatkan libur tiap minggu lagi, untuk kali ini aku ikut kursus potong rambut juga. Selain potong ada juga keriting, meluruskan dan modifikasi sanggul.Yah disini aku banyak belajar yang tentunya sangat bermanfaat untukku kelak bila sudah pulang kampung.
Ternyata di kampung sudah banyak yang mendengar aku ini ambil kursus merias. Itu tak lepas dari obrolan emak dengan tetangga atau saat pengajian atau arisan se-RT atau se-RW dan itu tentunya menguntungkanku
Setelah kursus selesai, aku terus berlatih melemaskan jariku untuk merias teman-temanku. Lama-kelamaan, karena sering praktek dan dari hasil praktek yang memuaskan namaku banyak dikenal orang. Pur Rias, begitu mereka menyebutku. Hampir tiap dua Minggu sekali ada saja yang meminta tolong aku untuk meriasnya, kali ini aku mendapat upah. Aku sih tidak memasang tarif, asal pelanggan puas seberapapun upah yang diberikan aku terima dengan ikhlas. Lumayanlah bisa buat beli pulsa.
Tak terasa sudah enam tahun aku bekerja di Hong Kong. Ada sejumlah uang terkumpul di tabunganku. Aku memutuskan untuk pulang kampung. Bukan untuk cuti tapi pulang yang benar-benar pulang. Pulang untuk berjuang di negri sendiri, pulang untuk tinggal serumah dengan emak dan mungkin juga pulang untuk menikah. Yang terakhir itu tentu saja kalau sudah sampai jodohku.
Aku pamit kepada dua kawanku yang selalu menyemangatiku itu. Kedua kawanku itu menangis tergugu namun tersenyum bahagia mendengar keputusan dan keseriusanku pada impianku, menjadi tukang rias. Dengan pelukan terakhir dan lambaian terakhir kumantabkan hatiku. "Bismillah ya Allah, mudahkanlah jalanku," doaku di sepanjang penerbanagnku.
Perjalanan naik pesawat dari Hongkong ke Indonesia tidaklah lama, cuma butuh empat jam lebih. Dan aku sampailah ke negeriku tercinta Indonesia. Satu bulan, dua bulan aku masih belum mendapatkan pekerjaan. Meski emak juga sudah membantu promosi ke sana ke sini namun kepercayaan dari orang-orang desa belum juga aku dapatkan. Mungkin karena aku masih muda, atau mungkin juga karena mereka belum pernah melihatku merias orang jadi mereka belum bisa mempercayaiku.
Aku coba mendatangi tetangga desa yang kebetulan dia perias nganten. Aku datang untuk menawarkan jasa.'
“Mbak, boleh nggak saya ikut membantu merias?” tanyaku padanya.
"Tapi anu dik, saya sudah punya satu pembantu rias. Trus nek tambah satu lagi nanti gimana ya, takutnya nggak bisa mbayari," jawab mbak Sartini.
Wanita yang menjadi perias turunan, karena ibunya adalah perias juga dulunya ini serba sungkan untuk menerima atau menolak permohonanku.
"Anu Mbak, saya enggak dibayar juga enggak apa-apa. Niat saya mau belajar Mbak," jawabku.
“Oh nggih Mbak, nanti kalau ada job njenengan saya ajak. Tapi njenengan bisa merias beneran khan?" tanya mbak Sartini ragu.
Ya aku memakluminya karena aku masih baru kali ini mau merias di kampung. Walau saat di Hong Kong aku sering merias kawan-kawan juga pernah belajar merias manten toh mbak Sartini enggak melihatnya, jadi tak heran kalau dia meragukan kemampuanku.
Mungkin ini rejekiku atau apa, pembantu rias mbak Sartini memutuskan untuk berhenti menjadi pembantu riasnya. Suaminya yang katanya naik pangkat itu tidak mengijinkan dia keluyuran katanya.
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Aku pun mulai sering diajak merias mbak Sartini. Awalnya hanya merias pengapit manten atau among tamu. akhirnya juga aku membantu merias putri domas. Namun tak sekalipun dia mengijinkanku untuk merias pengantinnya. Pamali katanya, entah benar atau tidak. Mungkin juga dia takut saingan karena hasil riasanku sering dipuji banyak orang.
Dan dari situ aku gunakan kesempatan untuk mengenal orang-orang yang bekerja dibidang lain yang berhubungan dengan pernikahan. Mulai dari tukang dekor, juru photo, penyanyi hiburan, pranatacara juga cucuk lampah. Aku mengenal mereka akrab. Dari mereka aku mencoba menawarkan diri untuk kerja sama denganku dan mereka menolak. Ya, tentu karena aku belum punya nama, aku bukan perias manten.
Ah, sulitnya untuk mendapatkan kepercayaan itu. Tapi aku tidak patah arang, aku tak mau balik lagi ke Hong Kong, aku tak mau gagal. Aku tetap mencoba.
Setelah satu tahun lamanya aku ikut merias mbak Sartini tanpa imbalan sedikitpun, sudah banyak kenalan dan ilmu yang kudapat dan orang-orang mulai mempercayai kemampuanku, kini saatnya aku berdiri sendiri. Kugunakan separuh tabunganku untuk membeli baju-baju pengantin, aksesoris dan pernak-pernik lainnya. Sewaktu di Hong Kong aku juga sempat membeli beberapa gaun pengantin yang tentunya berbeda dengan gaun pengantin yang ada di desaku. Setelah aku rasa aku siap, aku hubungi tukang dekor, tukang foto dan sebagainya, meminta kesiapan dan kesanggupan mereka untuk menjadi tim suksesku menjadi tukang rias. Kali ini, mungkin karena seringnya bertemu denganku dan karena telah melihat kemampuan dan kesiapanku mereka pun mengiyakan.
Meski sudah mendapat kesanggupan dari berbagai pihak dan meski brosur promosi juga sudah aku sebar namun aku hanya mendapat job kecil-kecilan seperti merias anak-anak di hari Kartini, merias anak pemain drumband, merias lulusan kuliah. Hingga empat bulan belum juga ada satu pun orang yang menggunakan jasaku untuk merias manten. Padahal aku sudah sangat siap.
Untuk mengisi kekosongan, aku mencoba membuat ketrampilan yaitu membuat mahar dari uang dari mukena, jarik dan sebagainya. Aku bikin sendiri dan aku pajang di ruang tamu biar orang pada melihatnya bila datang kerumahk. Selain itu aku mencoba membuat bunga dari sabun dan membuat tas, sabuk, gelang dari tali kur. Untuk sabuk dan gelang ini ternyata banyak disukai oleh anak-anak remaja, sehingga sedikit demi sedikit aku ada pemasukan.
Pada suatu hari hari ada salah satu saudaraku yang mau menikah, aku mencoba menawarkan diri untuk meriasnya secara percuma alias gratis. Sekalian aku membantu sekaligus aku promosi kepada tetangga. Saudara jauhku ini ternyata tak keberatan.
Tiba hari yang sudah di tentukan aku pagi sekali sudah mempersiapkan semua alat make up dan semua peralatan serta baju pengantinnya. Aku juga sudah mengontak semua tukang poto tukang dekor dan sebagainya dan aku pun mulai merias dengan telaten. Satu persatu wajah sudah aku rias dan tiap kali aku selesai merias, satu persatu pujian terdengar. Aku senang.
“Mbak nanti kalau anakku nikah kamu aja yang ngrias ya," kata seorang ibu-ibu yang melihatku merias mantennya. Aku tersenyum mengiyakan.
Dari keberhasilan hari itu namaku dikenal banyak orang, kini orang memanggilku Pur Rias, sama seperti panggilan kala aku di Hong Kong.
Dua buah sms aku kirimkan kepada kawanku tercinta. Sms bahagiaku.
"Bhangyau, aku berhasil! Aku benar-benar jadi tukang rias. Kalau kalian nikah nanti panggil Pur Rias aja ya, diskon 50%, hehehe."
****
Monday, June 17, 2013
Merias Impian
6:05 PM
ONE'T'
No comments
0 comments:
Post a Comment